Senin, 11 Mei 2015

Ketika Sang Pemimpi Harus Memilih

Cariu, Bogor
11 Mei 2015

Kerongkongan ini perih. Mungkin sedang radang. Aku  asih bingung, apakah aku yang salah dan sok tahu atau orang lain salah mengartikan arti dari "radang tenggorokan". yang aku tahu, tenggorokan itu saluran pernafasan, sementara kerongkongan merupakan saluran pencernaan. Yang aku rasa, kerongkonganku lah yang terasa sakit saat aku menelan saliva, bukan tenggorokan. Yasudah, lupakan.

ketika kau diberi tiga pilihan sulit, apa yang akan kau lakukan?
tak kusangka, sesuatu yang tak aku tunggu sama sekali ternyata membuahkan hasil yang mungkin membahagiakan bagi sebagian orang.
9 Mei 2015, tepatnya pukul 17.12 sesaat setelah aku mempublikasikan tulusanku http://www.deasylucyana.blogspot.in/2015/05/risalah-akhir-sma.html?m=1, aku mendapat pesan singkat dari temanku yang berisi "Desiiiiii" aku tak langsung buka pesan itu, lalu aku balas dengan singkat "apa?" Tak lama setelah itu dia membalas "bener nu kamari" kubalas lagi dengan "apa?" Dia membalasnya cepat "urang diterima di uin" setelah kubaca pesan itu, aku langsung berlari mencari dompet dimana disana terselip kartu NISN-ku. Kubuka web resmi SNMPTN 2015, kumasukkan nomor induk dan tanggal lahirku, tak berapa lama muncul barcode dengan latar belakang berwarna hijau bertuliskan "Selamat, Anda dinyatakan lulus SNMPTN 2015" lalu kuusap layar handphoneku ke arah bawah "Program studi dimana anda diterima SNMPTN 2015 adalah: Universitas Islam Negeri Bandung Program studi: pendidikan biologi"
aku tak tahu perasaanku saat itu. Apakah harus senang atau sedih.
Ternyata benar firasatku dua hari sebelum hari itu, kebingunganpun mulai melanda. Kutelpon orang tuaku di rumah, aku mengabari mereka sambil meneteskan air mata. Antara air mata bahagia dan penyesalan. Aku bingung apa yang harus aku lakukan kedepannya saat aku tahu hal itu.
Aku dan temanku ternyata benar-benar menjadi pionir SMAN 1 Cariu di SNMPTN ini, kesempatan langka bagi siswa sekolah di pelosok hutan ini. Namun saat kupikirkan lagi, bahaimana dengan IPB? Aku masih ingin berjuang disana, tapi jika UIN tidak kuambil, hal itu akan membahayakan sekolahku. Disisi lain, impianku untuk melanjutkan studi di S1 IPB masih menjulang. Apa yang harus kulakukan? Memilih menerima UIN yang sudah pasti atau aku ambil resiko dengan menolak UIN dan mengikuti SBMPTN di IPB, kampus impianku yang belum jelas.

"Tereneng" ponselku berbunyi dicelah waktu aku meneteskan air mata, pesan singkat dari guru kimiaku yang biasa aku panggil dengan "bunda" pesan iu berisi "des, gimana ada yg diterima hak dari sekolah kita?" Kubalas pesan itu dengan "saya keterima bun" sambil kukirimkan "screenshot" gambar tanda aku diterima. Kulanjutkan dengan "febri juga diterima bun, matematika uin jakarta", bunda membalas dengan "andri gimana?" Kubalas "andri gagal bun" kulanjutkan dengan "saya bingung bun, itu bukan keinginan saya. Saya masih ingin berjuang di IPB. Impian saya dari kecil. Tapi disisi lain saya memikirkan bagaimana nasib adik kelas saya nanti" bunda menyarankan aku untuk menerima UIN. Hal itu membuatku makin sulit.
seketika itu banyak pesan berjatuhan dari teman-temanku menanyakan hal serupa yang didominasi dengan "des gimana?"
Kubalas satu-persatu pesan mereka dengan menanyakan saran dari mereka dan mengeluhkan semua beban ini.

Aku bingung. Aku bingung. Aku bingung. Kalimat itu mendominasi suara yang kugetarkan di farink.
Aku tak bisa tidur memikirkan itu semua.
apa aku harus egois dan tak puas dengan hasil ini? Atau aku harus menerimanya?
setelah kupikirkan semalaman, esoknya aku masih pergi ke katalis IPB dengan raut muka tak biasa. Aku duduk di kursi depan pintu. Saat ka Ugi muncul dibalik gerbang katalis "loh? Deasi *dibaca demikian* kok masih disini?" Kalimat itu menunjukan bahwa kak Ugi sudah mengetahui kabar aku lulus SNMPTN.
Tiba-tiba air mataku tak bisa kubendung "aku masih mau berjuang buat kuliah di IPB kak"
sambil kuhela napas dalam-dalam dengan volume paru-paru 1500 cc untuk membendung cucuran air itu.

setelah try out, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Mendiskusikan pilihanbsulit ini dengan orang tuaku.
dijalan, aku masih mendapat saran dari temanku yang memang kami sering pulang bersama. "Kalo lu udah jelas diterima di d3 IPB sih gua saranin lu ambil d3 IPB aja" dan wejangan-wejangan lainnya. Kalimat yang bercuvuran dari mulutnya seketika meyakinkanku bahwa memang aku harus memilih D3 IPB dan mencoba SBMPTN "solat istikhoroh sering-sering lu"

Pagi tadi, saat aku sudah dirumah, aku pergi ke sekolah untuk menghadiri suatu acara yang dinamai pengumuman untuk kelas XII. Aku bertemu kawan-kawan yang selama ini kurindukan. Serasa berabad-abad aku tak bertemu dengan mereka. Setidaknya mereka membantuku melupakan sejenak masalahku sampai namaku terngiang ditelingaku.
Aku dipanggil pak Erion, guru yang selama ini membantuku untuk mendaftarkan diri disana-sini. "Mana durennya des?" Ternyata kabar itu sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.
seketika bermuncullan guru lain di depan ruang piket itu, "gimana des?" Kujawab dengan kalimat yang hampir sama kuucapkan kepada setiap orang yang menanyakan hal itu "Saya bingung. Saya pilih IPB saja pak. Engga apa- apa D3 pun setidaknya IPB punya nama besar"  guru-guru pun mengiyakan kalimat yang kulontarkan sepersekian detik yang lalu itu.
Tak lama namaku dipanggil lagi, dan ditanya soal itu kembali. Kujelaskan keputusanku itu dengan rinci. Dan sebagian dari mereka menyetujui keputusanku itu. Meski ada beberapa yang menyayangkan karena akan membuat sekolah dirugika olehku. Tapi harus bagaimana lagi? Terkadang pilihan sulit membutuhkan keegoisan untuk memecahkannya.

aku masih merasa bersalah kepada semua guru dan adik-adik kelasku yang telah aku rugikan disini, pilihan sulit itu mau tak mau harus kueliminasi.
selain itu aku masih bertanya-tanya, apakah aku tidak mensyukuri semua nikmat ini? Aku seorang diantara 152 ribu orang lainnya yang mendapat kesempatan untuk lulus di SNMPTN tapi aku menyianyiakannya. Tapi saat kupikir lebih dalam, IPB masih bertahta dihatiku, memanggil-manggil namaku.
Hatiku masih disana. Dan mungkin akan terus disana, karena IPB lah pilihanku. Impian masa kecilku yang berbulan-bulan kebelakang selalu kulontarkan kalimat "Deasy dan IPB adalah jodoh"

aku masih menggantung harapanku disana. Apakah kalimat itu masih berlaku saat ini? InsyaAllah kalimat itu akan selalu berlaku. Karena Deasy dan IPB dalah jodoh.

Untuk yang membaca tulisan ini, dengan rasa bersalah berjejal dalam hati, aku ingin meminta maaf untuk semua pihak yang telah aku rugikan. Maafkan keegoisan dan keserakahanku.


-Deasy Lucyana-

Sabtu, 09 Mei 2015

Risalah Akhir SMA

Bubulak, Bogor,
Sabtu, 9 Mei 2015

Aroma tanah yang terguyur air hujan memang selalu membuatku tenang. Meski ditempat asing sekalipun. Melihat kawanan air hujan berjatuhan dari langit sore membuatku melupakan sejenak semua gundah dalam hati.

Dua minggu berlalu. Aku masih disini. Berjuang. Menampung ilmu dan pelajaran tambahan yang bertubi- tubi menimpa otak yang tak diketahui berapa volumenya. Senin sampai minggu tak pernah libur. pagi sampai sore belajar di tempat bimbel, malam aku masih harus mengulangnya guna tak tertinggal. Sungguh melelahkan. Untuk apa semua itu aku lakukan jika bukan untuk diriku sendiri? Untuk mana sepanku, untuk kebahagiaanku.

Tepat pada hari ini pun, siswa dan siswi di seluruh sudut nusantara tengah dalam keadaan bimbang. Menunggu sang pengumuman yang tinggal 58 menit lagi.
Bagaimana denganku? Aku? Ya, aku juga "coba-coba" mendaftarkan diriku untuk mengikuti SNMPTN, menjual kemampuan berfikirku yang tak seberapa ini untuk diadu dengan puluhan juta otak anak Indonesia yang terkenal berprestasi itu. Tak realistis memang.
Nilaiku cukup bagus dalam ranking paralel di sekolahku, tapi bagaimana dengan persaingan taraf nasional?

Tujuanku satu. Aku ingin melanjutkan study di Biologi IPB. Tapi kembali ke awal. Suatu kata yang dinamai realistis. Realistis bukan berarti aku putus asa. Meskipun secara harafiah artinya hampir menyenggol kata putus asa, tapi aku masih berjuang di SNMPTN.
Aku melupakan mimpiku belajar Biologi di IPB dengan alasan realistis itu. Aku mengambil Pendidikan Biologi dan Biologi Murni di Universitas Islam Negeri Bandung dan Biologi Murni Universitas Jenderal Soedirman.

Universitas Islam Negeri Bandung, memang sedikit asing dan tak punya nama sebesar IPB.  Aku pun tak tahu alasanku memilih universitas itu. Setidaknya "realistis" itu sudah aku penuhi. Meninggalkan IPB yang memang akan sangat sulit bersaing dan lulus disana mengingat belum pernah ada seorangpun di sekolahku yang pernah lulus SNMPTN di universitas manapun. Itulah "secuil" alasanku memilih UIN.

Sekarangpun, dengan memilih UIN sebagai pilihan utama di SNMPTN, aku masih merasa tidak yakin akan mendapat hasil yang menyenangkan jam 5 sore nanti.
Aku tak begitu mengharapkan. Meski demikian, dalam hati kecilku masih terselip molekul keinginanku untuk lulus SNMPTN dan menjadi pionir sekolahku di SNMPTN. Jika aku lulus di UIN bandung, setidaknya aku tak usah berlama-lama tinggal disini. Pulang pergi menaiki angkot hijau dan biru untuk sampai ke kampus katalis IPB untuk dijejali materi SBMPTN, selain itu aku dapat membantu adik kelasku, menyediakan kursi kosong untuk diduduki tahun depan oleh mereka. Dengan konsekuensi tidak berkuliah di kampus impianku sejak aku kecil itu, IPB. Tak apa. Semua sudah digariskan. Tawakal.

Bukan aku tak mencoba jalur lain, aku mendaftarkan diriku di berbagai sekolah vokasi universitas negeri dan Politeknik negeri. Setidaknya sudah membuahkan hasil, aku dikabari bahwa aku lulus Teknologi Pangan di Politeknik Negeri Lampung. Aku langsung menelpon ayahku, apa harus kuambil? Karena aku salah satu orang pertama di sekolahku yang berhasil lulus PMDKPN. Tapi aku masih menunda kesempatan itu. Tak jelas juga bagaimana keputusannya. Karena aku mendapat kabar lagi bahwa aku lulus di Supervisor Jaminan Mutu Pangan Vokasi IPB. Meski baru kabar burung dari kakak pendahuluku disana, aku cukup merasa senang. Setidaknya aku berhasil diterima di IPB meski hanya D3 (itu pun belum jelas kebenarannya. Semoga saja benar adanya)

Meski sudah dijatuhi dua pilihan itu, aku masih menyimpan asa untuk melanjutkan study di S1 IPB. Inilah sebabnya aku masih disini. Jauh dari ayah dan ibu, hanya untuk mengejar keinginan yang menjulang itu.
aku akan berusaha terus untuk memastikan bahwa ada satu kursi yang sudah aku miliki di s1 IPB. Biologi, pelajaran yang selalu aku kagumi.

31 menit menuju pengumuman SNMPTN itu, jantungku masih berdetak biasa dengan tekanan sistol/diastol 120/80. Aku tak merasa gugup atau apapun itu yang para peserta SNMPTN lain rasakan. Aku pun bingung harus dengan apa aku menjelaskan semua ini?
aku bertawakal dan berserah kepadaMu yaRabb. Dzat yang maha menentukan hasil. Dzat yang masa merencanakan sesuatu dengan baik.
Apapun hasil yang aku dapatkan, aku akan terima dengan lapang dada yaAllah. Karena aku yakin masih ada rencana indahMu untukku. Jika memang aku sudah ditakdirkan untuk kuliah di IPB, seberapa sulitpun rintangan yangbharus aku hadapi. Aku akan tetap berjuang. Karena jika sudah takdir, Mars dan Bumi pun hanya selangkah kaki.

Pemimpi Ulung,
Deasy Lucyana